INILAH.COM, Jakarta - Ulil Abshar Abdalla pernah menulis
sebuah artikel di harian Kompas, pada 18 November 2001 dengan judul
'Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam' yang memicu kontroversi berujung
ancaman pembunuhan.
Berikut ini adalah isi artikel tersebut:
SAYA
meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah “organisme” yang hidup;
sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan
manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7
Masehi, lalu dianggap sebagai “patung” indah yang tak boleh disentuh
tangan sejarah.
Saya melihat, kecenderungan untuk
“me-monumen-kan” Islam amat menonjol saat ini. Sudah saatnya suara
lantang dikemukakan untuk menandingi kecenderungan ini.
Saya
mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana
menyegarkan kembali pemikiran Islam yang saya pandang cenderung
membeku, menjadi “paket” yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket
Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana, take it
or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya
bagi kemajuan Islam itu sendiri.
Jalan satu-satunya menuju
kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama
ini. Untuk menuju ke arah itu, kita memerlukan beberapa hal.
Pertama,
penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai
denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
Kedua,
penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya
yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai
fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang
merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.
Islam itu
kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus
diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu,
Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang
kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan kita tidak diwajibkan
mengikutinya.
Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan
kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab,
potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti,
karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.
Yang
harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi
praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang
memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu
sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan
manusia. Begitu seterusnya.
Ketiga, umat Islam hendaknya tidak
memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari
golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang
dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang
sejalan, bukan berlawanan, dengan Islam.
Larangan kawin beda
agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam,
sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas
melarang itu, karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat
manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk
hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan
non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal
dalam tataran kemanusiaan ini.
Keempat, kita membutuhkan struktur
sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana
kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan
kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui
prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut
membentuk nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan
agama yang sifatnya partikular adalah urusan masing-masing agama.
Menurut
saya, tidak ada yang disebut “hukum Tuhan” dalam pengertian seperti
dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang
pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada
adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi
pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy syari’ah, atau
tujuan umum syariat Islam.
Nilai-nilai itu adalah perlindungan
atas kebebasan beragama, akal, kepemilikan, keluarga/keturunan, dan
kehormatan (honor). Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan dalam
konteks sejarah dan sosial tertentu, itu adalah urusan manusia Muslim
sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar